Vietnam, Aljazair, Palestina Mewariskan obor perjuangan anti-kolonial

Peringatan ke-70 Pertempuran Dien Bien Phu dan Revolusi Aljazair menyoroti pengaruh mendalam keduanya terhadap proses dekolonisasi global. Artikel ini mengulas dampak keduanya terhadap perlawanan Palestina, menerangkan perjuangan bersama mereka melawan penindasan kolonial, serta inspirasi berkelanjutan yang mereka berikan kepada dunia.

Autores

Longread de

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Pengantar

‘Revolusi bukanlah pesta makan malam, atau menulis esai, atau melukis gambar, atau menjahit; revolusi tidak bisa semulus, sesantai, dan setenang itu.’ Mao Zedong, 1927 (Zedong 1953)

‘Kolonialisme bukanlah mesin pemikir, atau tubuh yang dilengkapi dengan kemampuan berakal. Kolonialisme adalah kekerasan dalam bentuk alaminya, dan hanya akan menyerah ketika dihadapkan dengan kekerasan yang lebih besar.’ Frantz Fanon, 1961 (Fanon 1967)

‘Imperialisme telah meletakkan raganya di seluruh dunia, kepalanya di Asia Timur, hatinya di Timur Tengah, pembuluh darahnya menjangkau Afrika dan Amerika Latin. Di mana pun kamu menyerangnya, kamu merusaknya, dan kamu melakukan Revolusi Dunia.’ Ghassan Kanafani, 1972 (Kanafani 2023)

Tahun ini, 2024, bertepatan dengan peringatan ke-70 Pertempuran Dien Bien Phu (Mei 1954), di mana revolusioner Vietnam menelan kekalahan telak atas kolonialis Prancis. Tahun ini juga menandai ulang tahun ke-70 Revolusi Aljazair, yang dimulai pada November tahun yang sama. Aljazair dan Vietnam menentang penindasan kolonial selama puluhan tahun sebelum memimpin dua revolusi paling signifikan di abad ke-20, melawan Prancis (dan kolaborator lokalnya), yang pada saat itu merupakan kekuatan kolonial Eropa terbesar kedua di dunia dan didukung oleh pasukan NATO. Pembahasan tentang dekolonisasi dan anti-imperialisme tidak akan lengkap tanpa memahami pentingnya Vietnam dan Aljazair, serta bagaimana perjuangan pembebasan revolusioner mereka (dan terus berlanjut) begitu menginspirasi bagi rakyat tertindas di seluruh dunia, termasuk Palestina.

Tidak ada revolusi yang persis sama dengan yang lain. Sebab, semua revolusi berakar pada sejarah nasional atau regional yang spesifik, dipimpin oleh kekuatan sosial dan generasional tertentu, dan terjadi pada momen tertentu dalam perkembangan suatu negara. Namun, semua revolusi memiliki unsur bersama yang tanpa itu tidak akan disebut revolusi: kedatangan blok kelas baru yang mengambil alih kepemimpinan negara, atau transisi dari ketergantungan kolonial ke kemerdekaan nasional. Seperti yang dikatakan Lenin, ‘Agar revolusi terjadi, biasanya tidak cukup bagi kelas bawah untuk tidak ingin hidup dengan cara lama; juga diperlukan agar kelas atas tidak mampu hidup dengan cara lama.’ Meskipun ada unsur-unsur yang mungkin menunjuk pada kontinuitas, justru pemutusan inilah yang menandai perubahan revolusioner. 

Dalam latar belakang dan pemahaman ini, ada lima tujuan saya dalam artikel ini:

  1. Untuk berbagi refleksi historis tentang perjuangan anti-kolonial Aljazair dan Vietnam, guna mengungkap bab-bab penting dalam sejarah anti-kolonial.
  2. Untuk menarik hubungan dan kesamaan antara kedua perjuangan tersebut, serta antara keduanya dan perjuangan pembebasan Palestina yang sedang berlangsung, guna memahami bagaimana Palestina terinspirasi oleh kedua perjuangan tersebut dan pada saat yang sama terus menginspirasi dunia dengan perlawanan yang teguh terhadap kolonialisme pemukim Zionis.
  3. Untuk menantang dan membantah upaya untuk menggambarkan kesetaraan palsu antara penjajah dan yang dijajah.
  4. Untuk menyoroti solidaritas transnasional antara mereka yang tertindas dan dijajah.
  5. Untuk secara tegas menempatkan perlawanan dan perjuangan pembebasan Palestina dalam barisan panjang perjuangan anti-kolonial dan anti-imperialis yang bermula dari perjuangan Haiti pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ketika budak-budak Haiti memberontak melawan Kekaisaran Prancis dan mendirikan republik hitam pertama (James 2001).

Kolonialisme merampas sejarah asli dari rakyat yang dijajah, sementara pembebasan nasional mengembalikan dan mendefinisikan ulang sejarah tersebut.

“Pembebasan nasional, kebangkitan nasional, pemulihan kedaulatan bangsa kepada rakyat, persemakmuran: apapun judul yang digunakan atau formula baru yang diperkenalkan, dekolonisasi selalu merupakan fenomena yang penuh kekerasan.” Frantz Fanon, 1961 (Fanon 1967)

Perjuangan kemerdekaan Aljazair melawan kolonialis Prancis merupakan salah satu revolusi anti-imperialis paling menginspirasi pada abad ke-20. Perjuangan ini merupakan bagian dari gelombang dekolonisasi yang dimulai setelah Perang Dunia II di India, Tiongkok, Kuba, Vietnam, dan banyak negara di Afrika. Perjuangan ini tertanam dalam semangat Konferensi Bandung dan era “kebangkitan Selatan”, sebuah Selatan yang selama puluhan tahun (dan dalam banyak kasus lebih dari satu abad) berada di bawah dominasi imperialis dan kapitalis dalam berbagai bentuk, mulai dari protektorat hingga koloni pemukim sejati (seperti halnya Aljazair).

Secara retrospektif, kolonialisme Prancis di Aljazair dapat dilihat sebagai sesuatu yang unik, karena Aljazair adalah negara berbahasa Arab pertama yang dianeksasi oleh Barat dan salah satu negara pertama di Afrika yang secara resmi ditaklukkan oleh kekaisaran Barat, jauh sebelum Konferensi Berlin pada 1884, ketika berbagai kekaisaran Eropa (Inggris, Prancis, Jerman, Belgia, Italia, Spanyol, Portugal) berkumpul untuk membagi-bagi benua tersebut di antara mereka.

Prancis menyerbu Aljazair pada Juni 1830. Tentara Prancis menghabiskan 50 tahun berikutnya untuk menindas pemberontakan, 15 tahun di antaranya melawan pemimpin perlawanan yang brilian, gigih, dan dedikatif, Abd-El-Kader. Perang penaklukan Prancis dilakukan tanpa henti, terutama di bawah komando Marsekal Bugeaud yang kejam, yang menerapkan kebijakan bumi hangus (Fisk 2005), melakukan kejahatan mulai dari pengusiran penduduk, pengambilalihan tanah, pembantaian, hingga enfumades yang terkenal, di mana tentara Prancis memusnahkan seluruh suku melalui asfiksia.1

Di samping kampanye “pembasmian” Marshal Bugeaud, Prancis secara aktif mendorong kolonisasi Aljazair oleh penduduknya sendiri. Dalam pernyataan di depan Majelis Nasional pada tahun 1840, Bugeaud mengatakan: ‘Di mana pun ada air tawar dan tanah subur, di situlah harus ditempatkan para kolonis [pemukim], tanpa memperdulikan kepada siapa tanah-tanah tersebut miliknya’. (Ini persis pendekatan yang akan diterapkan oleh Zionis di Palestina, seratus tahun kemudian). Pada tahun 1841, jumlah penjajah/pemukim tersebut telah mencapai 37.374, dibandingkan dengan sekitar 3 juta indigènes (penduduk asli) (Horne 2006). Pada tahun 1926, jumlah pemukim telah mencapai sekitar 833.000, atau 15% dari populasi, dan meningkat menjadi hampir 1 juta pada tahun 1954.

Kolonisasi melibatkan pengambilalihan faktor produksi dasar, tanah, dari petani asli dan redistribusinya kepada pemukim, menghancurkan dasar ekonomi subsistem petani (Lacheraf 1965). Masyarakat pedesaan melawan invasi tentara kolonial hingga tahun 1884, tetapi inti perlawanan pedesaan Aljazair terhadap kolonialisme dihancurkan pada tahun 1871, ketika pemberontakan politik-agraris besar yang melanda tiga perempat wilayah negara akhirnya ditumpas. Pemberontakan petani bersejarah ini merupakan reaksi terhadap serangkaian tindakan penyitaan yang merugikan selama tahun 1860-an, yang memicu kemarahan mayoritas petani Aljazair dan membuat mereka takut akan nyawa dan mata pencaharian mereka. Situasi mereka semakin parah akibat kekeringan, kegagalan panen, kelaparan, serangan belalang, dan penyakit, yang mengakibatkan kematian lebih dari 500.000 korban jiwa (sekitar seperlima populasi). Pada periode antara 1830 dan 1870, diperkirakan jutaan warga Aljazair meninggal (Bennoune 1988, Davis 2007, dan Lacheraf 1965).

Marxis berkebangsaan Mesir, Samir Amin, telah menggambarkan bagaimana penduduk pedesaan Aljazair mengubah penaklukan kolonial menjadi perang yang berkepanjangan dan menghancurkan:

‘Keruntuhan pemerintahan kerajaan dan perang pemusnahan yang dilancarkan oleh tentara Prancis memberikan periode awal (1830–1884) ini karakteristik khusus yang tidak ditemukan di tempat lain … dihadapkan pada kekuatan militer, kelas penguasa perkotaan jatuh ke dalam kekacauan total dan tidak dapat memikirkan alternatif lain selain melarikan diri … sedangkan bagi para petani, melarikan diri bukanlah pilihan. Di hadapan ancaman pemusnahan, mereka mengubah pedesaan Aljazair menjadi medan perang selama lima puluh tahun yang menelan jutaan korban.’ (Amin 1970)

Pemerintahan kolonial Prancis di Aljazair berlangsung selama 132 tahun (dibandingkan dengan 75 tahun di Tunisia dan 44 tahun di Maroko), dengan durasi dan kedalaman yang unik dalam pengalaman kolonialisme di Afrika dan dunia Arab. Pada tahun 1881, Aljazair untuk pertama kalinya dikelola sebagai bagian integral dari Prancis. Dengan perluasan pemerintahan sipil ke negara tersebut, status kelas dua diterapkan pada populasi Muslim Aljazair. Pengucilan Muslim tercermin di semua tingkatan representasi politik, diskriminasi anti-Muslim diintegrasikan ke dalam sistem pemilu, dan status inferior Muslim diabadikan dalam undang-undang melalui Code de l’Indigénat yang menjijikkan tahun 1881 (McDougall 2006).

Setelah keberhasilan Prancis dalam menindas secara brutal pemberontakan anti-kolonial Aljazair, yang terakhir terjadi pada tahun 1870-an dan 1880-an, lebih dari setengah abad berlalu sebelum gerakan perlawanan Aljazair kembali bangkit, dalam bentuk nasionalisme Aljazair dalam bentuk modernnya.

8 Mei 1945: ‘Hari Kemenangan di Eropa’ dan pembantaian di Aljazair

“Di Sétiflah rasa kemanusiaanku pertama kali terlukai oleh pemandangan yang paling mengerikan. Saat itu aku berusia enam belas tahun. Kejutan yang kurasakan akibat pembantaian kejam yang menewaskan ribuan Muslim, tak pernah kulupakan. Sejak saat itu, nasionalisme ku mulai terbentuk dengan jelas.” Kateb Yacine, penulis dan penyair Aljazair (dikutip dalam Horne, 2006).

Pada 8 Mei 1945, perayaan meriah melanda Eropa saat kabar tentang penyerahan diri Nazi menyebar. Prancis bersuka cita karena terbebas dari pendudukan selama lima tahun. Pada saat yang sama, peristiwa di Aljazair dimulai yang akan berujung pada pembantaian kolonial terhadap ribuan Muslim Aljazair dalam dua bulan ke depan. 

Pada Hari Kemenangan di Eropa, sementara orang Eropa merayakan, warga Aljazair berdemonstrasi di Sétif untuk kemerdekaan dan berakhirnya kolonialisme, membawa spanduk dengan slogan seperti ‘Untuk Pembebasan Rakyat, Hidup Bebas dan Merdeka Aljazair!’ Mereka juga untuk pertama kalinya mengibarkan bendera yang nantinya menjadi bendera Gerakan Pembebasan Nasional Aljazair (FLN). Pemerintah kolonial Prancis menindas demonstrasi tersebut dengan kekerasan, memicu pemberontakan yang mengakibatkan pembunuhan 103 orang Eropa. 

Balasan kolonial terhadap pembunuhan ini sangat kejam. Militer Prancis (udara, laut, dan darat) membom beberapa wilayah, serta membakar dan meratakan banyak desa di Setif, Guelma, dan Kherrata. Dalam kurun waktu dua bulan, gendarmerie Prancis 2 dan pasukan, bersama pemukim yang dendam, membantai puluhan ribu Muslim Aljazair, dengan perkiraan tertinggi mencapai 45.000 orang. 

Sejajar antara pembantaian di Sétif, Guelma, dan Kherrata dengan Operasi Al-Aqsa Flood pada 7 Oktober 2023 oleh perlawanan Palestina terhadap Israel, serta pembantaian genosida yang kejam yang mengikuti, terlalu jelas untuk diabaikan. Dalam kedua kasus, perlawanan—baik damai maupun dengan kekerasan—sepenuhnya dilarang, dan aspirasi untuk menentukan nasib sendiri dihancurkan dengan kekuatan yang sangat tidak proporsional.

Pada saat itu (1945), seorang analis, berusaha menjelaskan “kebiadaban” kaum terjajah dan membenarkan represi berdarah Prancis, menulis: "Seruan untuk kekerasan memunculkan dari pegunungan semacam jin jahat, Berber Caliban yang liar dan kejam, gerakannya hanya dapat dihentikan oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Inilah penjelasan historis dan sosial untuk peristiwa yang terjadi di Sétif pada hari kemenangan dirayakan" (Gresh 2023). Pola pikir kolonialis supremasis yang sama dan penjelasan rasialis, orientalistis, dan esensialistis tentang mengapa kaum tertindas dan terjajah memberontak masih bertahan hingga hari ini: serangan Palestina pada 7 Oktober sering dikaitkan dengan kejahatan murni, kekejaman irasional, dan barbarisme abadi teroris abad pertengahan dan sub-manusia, jauh dari konteks politik lebih dari 75 tahun kolonialisme pemukim, apartheid, dan pendudukan.

Pembantaian yang terjadi setelah demonstrasi 8 Mei 1945 memiliki dampak signifikan bagi gerakan nasionalis Aljazair. Bagi generasi muda pejuang, perang Aljazair telah dimulai dan persiapan untuk perjuangan bersenjata tidak dapat ditunda lagi. Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa pembantaian 1945 bersifat traumatis, meninggalkan bekas mendalam bagi setiap Muslim Aljazair yang mengalami periode tersebut. Selain itu, setiap nasionalis Aljazair yang menonjol di FLN menelusuri tekad revolusioner mereka kembali ke Mei 1945. Tidak akan mengherankan jika generasi mendatang revolusioner Palestina dan Arab (dari semua kecenderungan politik) menelusuri komitmen mereka terhadap perjuangan pembebasan ke genosida yang mengikuti serangan 7 Oktober dan perlawanan heroik di Gaza, yang terus berlanjut hingga saat ini.

Ahmed Ben Bella, seorang pemimpin FLN dan kepala negara Aljazair dari tahun 1962 hingga 1965, pernah menjabat sebagai sersan yang banyak menerima penghargaan di Resimen ke-7 Tirailleurs Aljazair, sebuah unit yang menonjol dalam pertempuran di Eropa. Namun, peristiwa tahun 1945 lah yang membawanya ke jalan revolusi. Ia kemudian menulis: Kejahatan di wilayah Constantine pada Mei 1945 berhasil meyakinkan saya akan satu-satunya jalan: Aljazair untuk orang Aljazair.Demikian pula, bagi Mohammed Boudiaf, pemimpin revolusioner FLN lainnya dan juga calon kepala negara, pembantaian kolonial pada 1945 membuatnya menolak politik pemilihan umum dan asimilasi, serta memilih perlawanan bersenjata dan aksi langsung sebagai satu-satunya cara untuk mencapai pembebasan (Evans & Phillips 2007).

Peristiwa traumatis pada 1945 merupakan tembakan pertama dalam perjuangan Aljazair untuk kemerdekaan. 

Kemenangan Vietnam menjadi inspirasi bagi Aljazair

“Tindakan kami bertujuan untuk membawa perang ke wilayah mereka, agar seluruh dunia tahu bahwa rakyat Aljazair sedang memperjuangkan perang pembebasan melawan penjajah Eropa mereka.” Djamila Bouhired (tautan luar)

Perjuangan Aljazair untuk kemerdekaan tidak dapat dipisahkan dari konteks global dekolonisasi. Pada tahun 1945, Liga Arab dibentuk, berkomitmen pada persatuan Arab. Pada tahun 1947, India memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Pada tahun 1949, Revolusi Maoist Tiongkok mengalahkan Nasionalis Chiang Kai-shek dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok. Pada tahun 1955, nasionalisme Arab/Nasserisme muncul dan Konferensi Bandung di Indonesia diadakan, di mana 29 negara non-blok dari Afrika dan Asia menantang kolonialisme dan neokolonialisme dalam konteks ketegangan Perang Dingin.

Para pemimpin FLN tidak menipu diri sendiri tentang skala tugas yang dihadapi, tetapi keyakinan mereka diperkuat oleh kekalahan memalukan Prancis di Indochina pada Mei 1954. Seperti yang dijelaskan Frantz Fanon, kemenangan besar rakyat Vietnam di Dien Bien Phu tidak lagi, secara harfiah, hanya kemenangan Vietnam: “Sejak Juli 1954, pertanyaan yang diajukan oleh bangsa-bangsa terjajah adalah ‘Apa yang harus dilakukan untuk menciptakan Dien Bien Phu lain? Bagaimana kita bisa melakukannya?’” (Fanon 1967).

Fanon terpesona oleh apa yang dicapai Vietnam di Dien Bien Phu. Menurutnya, kemenangan Vietnam atas Prancis di lembah terpencil Asia Tenggara ini telah membuktikan bahwa bangsa terjajah dapat menghasilkan kekerasan revolusioner yang diperlukan untuk memaksa dekolonisasi pada penjajah. Berita kemenangan Vietnam dengan cepat menyebar di seluruh kekaisaran Prancis, menghancurkan mitos ketidak terkalahkan penjajah dan memicu retakan dalam struktur kekaisaran. Pentingnya Dien Bien Phu dan dampaknya terhadap psikologi rakyat terjajah sulit untuk dilebih-lebihkan. Benyoucef Ben Khedda, presiden Pemerintahan Sementara Republik Aljazair, mengenang: “Pada 7 Mei 1954, tentara Ho Chi Minh menimpakan kekalahan memalukan Dien Bien Phu kepada korps ekspedisi Prancis. Kekalahan Prancis ini bertindak sebagai katalisator yang kuat bagi semua yang telah berpikir bahwa pemberontakan dalam jangka pendek kini menjadi satu-satunya obat, satu-satunya strategi yang mungkin. … Aksi langsung mendahului semua pertimbangan lain dan menjadi prioritas utama” (Ben Khedda 1989).

Ferhat Abbas, yang menjadi presiden sementara pertama Republik Aljazair yang baru merdeka, menggambarkan kemenangan Vietnam di Dien Bien Phu dalam istilah yang mengubah sejarah, menganggapnya sebanding dengan kemenangan tentara revolusioner Prancis atas Prusia dalam pertempuran bersejarah Valmy pada tahun 1792:

‘Dien Bien Phu lebih dari sekadar kemenangan militer. Pertempuran ini adalah simbol. Ini adalah “Valmy” bagi bangsa-bangsa yang dijajah. Ini adalah penegasan Asia dan Afrika terhadap Eropa. Ini adalah konfirmasi universalitas hak asasi manusia. Di Dien Bien Phu, Prancis kehilangan satu-satunya sumber ‘legitimasi’ yang menjadi dasar kehadiran mereka, yaitu hak yang terkuat untuk menguasai yang terlemah.” (Abbas 1962).

Yang lain menggambarkan Dien Bien Phu sebagai Stalingrad dari dekolonisasi (Meaney 2024).

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Menjaga Garis Kekaisaran dan Solidaritas Antara Bangsa-Bangsa yang Dijajah

Bukan karena orang Indo-Cina telah menemukan budayanya sendiri bahwa mereka memberontak. Melainkan karena “sederhana saja” mereka, dalam lebih dari satu cara, tidak lagi mampu bernapas.’ Frantz Fanon (Fanon 1967).

Sulit, setelah 70 tahun berlalu, untuk membayangkan dampak Perang Indochina pertama, terutama Dien Bien Phu, terhadap dunia kolonial, khususnya koloni-koloni Prancis di luar negeri, dari Aljazair hingga Senegal dan dari Maroko hingga Madagaskar. Kekuatan kolonial telah dikalahkan. Tentara biasa telah ditaklukkan!

Pada 1940-an, selama Perang Dunia II, ketika Prancis diserang dan diduduki oleh Nazi Jerman, puluhan ribu orang Aljazair, Maroko, Senegal, Vietnam, dan lainnya dengan berani bergabung dalam perjuangan pembebasan Prancis, yang mereka harapkan akan membawa pembebasan bagi mereka sendiri. Namun, ketika akhirnya bangkit dari reruntuhan, Prancis mulai memulihkan kerajaannya yang hancur dengan segala kemegahan kolonialnya. Meskipun ada negosiasi di Paris antara Jean Sainteny dan Ho Chi Minh untuk mencari kompromi mengenai masa depan Vietnam pasca-perang, dan meskipun kemenangan kiri, termasuk Komunis, dalam pemilu Prancis November 1946, pemerintah Prancis tetap memutuskan untuk menaklukkan kembali Vietnam. Baik dipimpin oleh kanan, tengah, atau kiri, atau oleh kekuatan yang bersifat agama atau sekuler, dan dari satu republik ke republik lainnya, Prancis terus mempertahankan kekuasaannya atas kerajaan kolonialnya, dari Lembah Dien Bien Phu hingga Kasbah Aljir (Delanoë 2002).

Setelah pecahnya perang pada Desember 1946, antara tahun 1947 hingga 1954, puluhan ribu orang Afrika Utara dikirim untuk bertempur demi Prancis di Indochina (jumlahnya akhirnya mencapai 123.000), pada saat negara-negara mereka sendiri mulai merasakan gejolak perjuangan kemerdekaan. Setelah tiba di Vietnam, ratusan di antaranya desertir dan bergabung dengan Viet-Minh. Dengan demikian, mereka merespons seruan Vietnam untuk solidaritas anti-kolonial (Delanoë 2002). Salah satu seruan tersebut disampaikan dalam surat yang dikirim oleh seorang menteri dalam pemerintahan Ho Chi Minh kepada pemimpin kemerdekaan Maroko Abd El-Krim, yang sedang mengungsi di Kairo, pada awal 1949. Ia menulis:

Perjuangan kami adalah perjuangan Anda, dan perjuangan Anda tidak berbeda dengan perjuangan kami. Selain itu, solidaritas gerakan pembebasan nasional dalam kerangka bekas Kekaisaran Prancis mampu mengakhiri imperialisme Prancis secara permanen. Yang Mulia, pemerintah Ho Chi Minh meminta Anda untuk menggunakan otoritas spiritual Anda yang besar untuk meminta tentara Afrika Utara menolak berangkat ke Vietnam, dan juga meminta Anda untuk menyerukan kepada para buruh pelabuhan untuk memboikot kapal-kapal Prancis.’ (Saaf 1996)

Abd El-Krim, seorang pemimpin gerilyawan revolusioner yang mengalahkan tentara Spanyol dalam pertempuran epik di Annual pada 1921 dan mendirikan Republik Rif yang singkat (1921-1926) sebelum akhirnya dikalahkan oleh Prancis dan Spanyol melalui serangan udara, serangan gas dan bom napalm, meriam gerak sendiri (self-propelled gun/SPG), dan puluhan ribu rekrutan dari Kekaisaran (Ayache 1990 dan Daoud 1999), menjawab: ‘Kemenangan kolonialisme, bahkan di ujung dunia yang lain, adalah kekalahan kita dan kegagalan perjuangan kita. Kemenangan kebebasan di mana pun di dunia adalah ... tanda mendekatnya kemerdekaan kita.’ (Saaf 1996)

Serangkaian kekalahan yang dialami tentara Prancis di Indochina semakin memperkuat kesadaran akan kebutuhan solidaritas di antara rakyat terjajah. Menanggapi kebutuhan ini, buruh pelabuhan Aljazair yang bekerja di pelabuhan Oran dan Aljir menolak memuat bahan perang yang ditujukan ke Indochina (Ruscio 2004). 

Orang Vietnam juga meminta Abd El-Krim dan Partai Komunis Maroko untuk mengirimkan seorang warga Afrika Utara yang dapat mendirikan jaringan perang psikologis yang akan mendorong tentara Afrika Utara dalam Korps Ekspedisi Prancis di Timur Jauh (CEFEO) untuk desertir, menggalang dukungan orang Vietnam, dan pada akhirnya kembali ke negara asal mereka untuk melawan penjajah Prancis. Peran ini diambil oleh M'hamed Ben Aomar Lahrach (alias Maarouf). Seorang Maroko, seperti Abd El-Krim, Maarouf adalah seorang serikat pekerja dan anggota Partai Komunis Maroko (Delanoë 2002). Pada akhir 1940-an, ia bepergian ke Hanoi. Ia menjelaskan aktivitasnya dengan tentara Afrika Utara yang baik bergabung dengan Viet Minh atau ditangkap sebagai berikut:

Saya berusaha menciptakan desa-desa nyata untuk tawanan Arab dan Kabyle saya, saya menempatkan mereka di gubuk-gubuk mandiri, saya berhasil memberi mereka kehidupan yang mengingatkan pada kampung halaman. Kita tidak boleh menjadikan orang-orang ini sebagai orang Vietnam; kita harus memulangkan mereka secepat mungkin! Mereka harus tetap menjadi diri mereka sendiri; mereka akan menjadi kader pasukan pembebasan kita... Saya tidak akan membiarkan para desertir Maroko atau Aljazair saya mati.’ (Delanoë 2002)]

Dalam seruannya kepada tentara Afrika Utara yang bertempur di pihak Prancis di Vietnam, dan dalam pekerjaannya mendidik secara politik para tawanan Afrika Utara dan tentara yang bergabung, pesan Maarouf adalah ‘Kembali ke rumah: orang-orang ini, seperti kalian di Maroko, sedang berjuang untuk kemerdekaan mereka. … Kembalilah ke rumah dan gunakan semangat perjuangan kalian untuk membebaskan negara kalian’ (Saaf 1996). Di atas segalanya, ia berusaha untuk merebut kembali orang-orang Afrika Utara yang digunakan oleh Prancis sebagai bahan bakar meriam, dan yang merasa tersesat di negara Asia yang jauh ini, dengan tujuan eksplisit untuk memulangkan mereka sesegera mungkin ke negara asal mereka.

Keberhasilan kerja Maarouf paling jelas terlihat dari ratusan repatriasi Aljazair yang menjadi kader militer efektif bagi Front Pembebasan Nasional Aljazair mulai tahun 1954/55. Aktivitas Maarouf sungguh heroik; di antaranya adalah ikut serta dalam penangkapan Jenderal Prancis De Castries di Dien Bien Phu. Sebagai bukti penghormatan yang tinggi terhadapnya, Ho Chi Minh memberinya nama Anh Ma, yang secara harfiah berarti ‘Abang Kuda’, dan orang Vietnam memberinya pangkat jenderal serta menganugerahi medali (Saaf 1996 dan Delanoë 2002). 

Bagi Prancis, Dien Bien Phu menjadi simbol kekakuan yang ketinggalan zaman yang berujung pada bencana. Bagi Vietnam, itu adalah simbol pemulihan kemerdekaan nasional. Namun, Dien Bien Phu bukan hanya peristiwa sejarah bagi kedua negara tersebut: di seluruh dunia, pertempuran itu dianggap sebagai titik balik yang menandai datangnya pertempuran-pertempuran pembebasan lainnya. Gema tembakan senjata belum reda di Lembah Tonkin sebelum terdengar di Pegunungan Aurès di Aljazair. Dan dalam waktu kurang dari setahun, “orang-orang tertindas di bumi” berkumpul di Bandung (Ruscio 2004). Adapun para kolonialis, De Lattre, panglima tertinggi Prancis, bercerita kepada perwira yang ditugaskan untuk membentuk tentara Vietnam-nya, bahwa mereka harus mempertahankan garis kekaisaran: ‘Di Tonkin-lah kami mempertahankan posisi kami di Afrika. Segala sesuatu harus tunduk pada keharusan ini.’ (Goscha 2022). Hari ini, di Gaza, imperialisme yang dipimpin AS berusaha mempertahankan hegemoni globalnya. 

Dalam upaya AS-Israel untuk mempertahankan garis imperial di Gaza, mereka menerapkan metode brutal yang serupa dengan yang diterapkan Prancis di Vietnam, termasuk kelaparan penduduk sipil. Prancis fokus pada pemutusan akses Vietnam terhadap beras, sebagai bagian dari perintah Jenderal Prancis Raoul Salan untuk ‘Membuat musuh kelaparan’ (Salan kemudian mendirikan Organisation Armée Secrète (OAS), organisasi teroris rahasia yang berusaha mencegah kemerdekaan Aljazair). Penggunaan makanan sebagai senjata bukanlah hal baru. Pasukan imperialis telah mempraktikkan bentuk perang ini sejak zaman kuno. Namun, Prancis adalah yang pertama menerapkan pendekatan ini dalam perang dekolonisasi abad ke-20 – dengan konsekuensi mengerikan bagi rakyat Vietnam. Dengan demikian, mereka menghapus batas antara pejuang dan warga sipil, serta antara front dalam negeri dan front perang. Ini adalah la guerre totale (perang total), seperti yang diadvokasi oleh Jenderal Lionel-Max Chassin, komandan angkatan udara Prancis di Indochina pada awal 1950-an. Chassin bersikeras bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk memenangkan perang kolonial, dengan argumen bahwa ‘Kita harus membiarkan orang-orang mati kelaparan’ (Goscha 2022). Pada 1956, Chassin mengatakan kepada atasannya bahwa ia ‘yakin bahwa jika kita membunuh semua kerbau dan menghancurkan semua beras di Indochina, kita akan membuat bangsa Vietnam tunduk kapan pun kita mau’.

Logika serupa juga berlaku dalam upaya Prancis untuk ‘menenangkan’ Aljazair antara tahun 1954 dan 1962, dan kini logika tersebut kembali berlaku dalam perang total Israel terhadap Gaza. Faktanya, apa yang terjadi di Gaza saat ini bukan hanya genosida. Meskipun hampir mustahil menemukan terminologi yang tepat untuk menggambarkan tingkat kehancuran dan kematian yang dilancarkan Israel terhadap Palestina, berbagai konsep kini digunakan untuk memahami skala besar peristiwa ini: urbisida, skolastisida, domisida, ekosida, dan holosida – penghancuran total struktur sosial dan ekologi suatu masyarakat.

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Kekerasan Revolusioner dan Perang Gerilya Urban di Era Dekolonisasi

Kami adalah pendukung penghapusan perang, kami tidak ingin perang; tetapi perang hanya dapat dihapuskan melalui perang, dan untuk menghilangkan senjata, diperlukan untuk mengambil senjata.’ Mao Zedong (Zedong 1967)

Mengetahui segala yang terjadi di negara kami, jelas bagi kami bahwa tidak ada pilihan selain perjuangan bersenjata, dan kami harus menghadapi Prancis dengan kekerasan.’ Zohra Drif (Drif 2017)

Perang Indochina dan Aljazair melawan kolonialisme Prancis telah menjadi landasan politik modern di kedua negara. Kedua perjuangan kemerdekaan tersebut secara mendalam membentuk karakter pemikiran anti-kolonial selama dekade-dekade berikutnya. 

Christopher Goscha berargumen dalam bukunya yang luar biasa, The Road to Dien Bien Phu, bahwa Ho Chi Minh akhirnya mengelola dua jenis negara perang: satu yang mampu bertahan melawan penjajah dalam bentuk gerilya, seperti yang dilakukan FLN Aljazair di Afrika Utara, dan yang lain mampu menghasilkan kekuatan militer dan organisasional yang diperlukan untuk mengalahkan tentara kolonial Barat dalam pertempuran besar, seperti yang diciptakan oleh komunis Tiongkok. Berkat bantuan militer dan penasihat Tiongkok, pelatihan dalam ilmu militer modern, serta pengenalan undang-undang wajib militer dan mobilisasi, komunis Vietnam memimpin revolusi militer yang tidak pernah terjadi dalam perang dekolonisasi lain di abad ke-20 (Goscha 2022). Memang, nasionalis Aljazair tidak sendirian dalam ketidakmampuan mereka beralih dari perang gerilya ke perang konvensional: dalam perang dekolonisasi abad ke-20 lainnya, tidak ada yang sebanding dengan Tentara Rakyat Vietnam, dan tidak akan pernah ada lagi Dien Bien Phu. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kekuatan kolonial tidak dapat dikalahkan dengan cara lain, termasuk perang gerilya.

Perjuangan antikolonial Vietnam melawan Prancis tidak terjadi secara terpisah dari peristiwa-peristiwa lain di Asia. Perang Indochina Pertama (1945–1954) berlangsung bersamaan dengan Perang Korea dalam konteks perluasan Perang Dingin di Asia Tenggara, di mana Amerika Serikat melihat bantuan kepada Prancis sebagai cara untuk melawan Komunis. Kembalinya perang di Vietnam pada tahun 1960 menandai keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam konflik tersebut, dengan teknologi perang yang canggih dan keyakinan bahwa kemenangan mereka sudah pasti. Amerika Serikat tidak lagi memerlukan bantuan negara ketiga untuk memberikan pukulan fatal kepada komunis di Asia. Perang Amerika melawan Vietnam berlangsung selama 15 tahun sebelum ‘armada tak terkalahkannya’ terpaksa mundur tanpa kemenangan, meninggalkan negara yang hancur.

Kehancuran dan kekerasan tidak unik bagi revolusi anti-kolonial Vietnam. Deklarasi perang di Aljazair pada 1 November 1954 juga memicu salah satu perang terpanjang dan paling berdarah dalam sejarah dekolonisasi, dipenuhi dengan kejahatan keji yang tak kenal ampun (Stora 2004). Pimpinan FLN memiliki pemahaman realistis tentang keseimbangan kekuatan militer, yang secara jelas menguntungkan Prancis, yang saat itu memiliki angkatan bersenjata terbesar keempat di dunia. Menanggapi kenyataan ini, strategi mereka terinspirasi oleh pepatah Ho Chi Minh, “Untuk setiap sembilan dari kami yang terbunuh, kami akan membunuh satu – pada akhirnya kalian akan pergi.” FLN ingin menciptakan iklim kekerasan dan ketidakamanan yang pada akhirnya tidak dapat ditoleransi oleh Prancis, menginternasionalisasi konflik, dan menarik perhatian dunia terhadap Aljazair (Evans & Phillips 2007). Mengikuti logika ini, para pemimpin revolusioner Abane Ramdane dan Larbi Ben M’hidi memutuskan untuk membawa perang gerilya ke daerah perkotaan Aljazair, dan secara khusus meluncurkan Pertempuran Aljir pada September 1956. 

Tidak ada cara yang lebih baik untuk sepenuhnya menghargai momen kunci dan dramatis pengorbanan dalam revolusi Aljazair daripada menonton film realistis klasik karya Gillo Pontecorvo, The Battle of Algiers, yang dirilis pada 1966. Awalnya dilarang di Prancis, film ini secara kuat menggambarkan beberapa momen kritis perlawanan Aljazair di ibu kota dan penindasan Prancis terhadapnya. Dalam satu momen dramatis, Kolonel Mathieu, yang merupakan gambaran samar Jenderal Massu (yang juga bertempur dalam Perang Indochina Pertama), memperlihatkan pemimpin FLN yang ditangkap, Larbi Ben M’Hidi, dalam konferensi pers, di mana seorang jurnalis mempertanyakan moralitas menyembunyikan bom dalam keranjang belanja wanita. Jurnalis bertanya: ‘Apakah Anda tidak berpikir bahwa menggunakan keranjang dan tas wanita untuk membawa perangkat peledak yang membunuh begitu banyak orang itu sedikit pengecut?’ Ben M’hidi menjawab: ‘Dan apakah menurut Anda tidak lebih pengecut lagi untuk menjatuhkan bom napalm ke desa-desa tak berdaya, sehingga ada seribu kali lebih banyak korban tak bersalah? Berikan kami pengebom Anda, dan Anda bisa memiliki keranjang kami’ (dikutip dalam Fisk 2005).

Djamila Bouhired, ikon revolusioner yang telah menjadi figur inspiratif di seluruh dunia Arab (terutama bagi Palestina), serta di luar sana, merupakan tokoh kunci dalam Pertempuran Aljir dan bersama Zohra Drif, Samia Lakhdari, dan ibunya, merupakan salah satu perempuan yang menanam bom di seluruh kota. Setelah ditangkap, diperkosa, dan disiksa dengan kejam, ia dengan heroik menantang penjajah kolonial dan penyiksanya: ‘Saya tahu kalian akan menghukum mati saya, tetapi jangan lupa bahwa dengan membunuh saya, kalian tidak hanya membunuh kebebasan di negara kalian, tetapi kalian juga tidak akan mencegah Aljazair menjadi bebas dan merdeka.

Zohra Drif, salah satu pahlawan Perang Kemerdekaan Aljazair, yang terkenal karena keterlibatannya dalam ledakan di Milk Bar Café pada tahun 1956, merupakan bagian penting dari jaringan bom FLN di Aljir. Ia bekerja sama dengan Ali La Pointe, Djamila Bouhired, Hassiba Ben Bouali, dan Yacef Saâdi, kepala Zona Otonom Aljir. Ia akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman 20 tahun kerja paksa oleh pengadilan militer Aljir atas tuduhan terorisme. Drif dipenjara di bagian perempuan Penjara Barbarossa. Dalam memoarnya, ia merefleksikan peran Djamila Bouhired: ‘Mereka memiliki Marianne mereka, kami memiliki Djamila kami ... Bagi Prancis kolonial, ia adalah “jiwa terorisme”. Bagi kami dan semua bangsa yang mencintai kebebasan, ia menjadi jiwa pembebasan dan simbol Aljazair yang berperang, indah dan pemberontak’ (Drif 2017). 

Perjuangan heroik Bouhired, keberanian, pengorbanan, sumud (keteguhan), dan pengorbanannya masih bergema di Palestina dan masih mengisi hati yang berdetak serta menginspirasi bahasa dan imajinasi perlawanan, revolusi, dan perjuangan pembebasan. Jubah Bouhired diteruskan oleh pejuang kebebasan Palestina Leila Khaled, bersama banyak lainnya. 

Pemberontakan perkotaan di Aljir akhirnya dihancurkan tanpa belas kasihan, melalui penggunaan penyiksaan secara sistematis untuk mengekstrak informasi, termasuk pemasangan elektroda pada alat kelamin (Alleg 1958). Pada Oktober 1957, jaringan FLN di Aljir dihancurkan, setelah ledakan yang menewaskan pemimpin terakhir Ali La Pointe bersama Little Omar, Hassiba Ben Bouali, dan Hamid Bouhamidi, di persembunyian mereka di Casbah. Meskipun mengalami kekalahan militer, FLN meraih kemenangan diplomatik: Prancis terisolasi secara internasional karena metode represi yang skandal yang digunakan.

Pengalaman Aljazair dalam perang kota sebagai bagian dari perjuangan dekolonisasi bukanlah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari satu dekade sebelum FLN meledakkan bom di Aljir, orang Vietnam telah bertempur dalam pertempuran perkotaan besar di Saigon, Haiphong, dan Hanoi. Pertempuran tersebut juga berlangsung brutal, dengan Prancis menggunakan tank, artileri, dan pembom untuk menghancurkan posisi perkotaan Vietnam. Seperti Casbah di Aljir, Kawasan Tua Hanoi menjadi pusat pertempuran untuk kota tersebut (1946–1947). Selama pertempuran, Panglima Pasukan Ekspedisi Prancis di Indochina, Jenderal Jean Vally, memerintahkan bawahannya untuk ‘serang mereka dengan keras menggunakan meriam dan bom… guna mengakhiri perlawanan dan membuktikan kepada musuh kita keunggulan mutlak kemampuan kita’ (Goscha 2022). Pada akhir pertempuran, ‘Casbah’ Hanoi hancur berkeping-keping. 

Tingkat kekerasan yang dilakukan oleh pasukan Prancis di Dataran Sungai Merah dan wilayah utara Vietnam lainnya dari Januari 1951 hingga pertengahan 1954 tidak memiliki bandingan dalam sejarah perang dekolonisasi abad ke-20. Di kalangan rakyat Vietnam, lebih dari satu juta orang tewas dan ratusan ribu terluka, termasuk korban penyiksaan, sementara kerugian Korps Ekspedisi Prancis mencapai 130.000 orang. Tingkat kekerasan yang sama mengerikan juga terjadi di Aljazair. Perkiraan resmi menunjukkan bahwa satu setengah juta orang Aljazair tewas dalam perang delapan tahun yang berakhir pada 1962. Seperempat populasi (2,35 juta orang) ditahan di kamp konsentrasi, setidaknya 3 juta orang (setengah populasi pedesaan) terpaksa mengungsi, sekitar 8.000 desa dihancurkan atau dibakar, ratusan ribu hektar hutan dibakar atau dihilangkan daunnya oleh bom napalm, lahan pertanian ditanami ranjau atau dinyatakan sebagai “zona terlarang”, dan ternak negara tersebut hancur (Bourdieu dan Sayad 1964; Bennoune 1973).

Dalam kedua kasus (Aljazair dan Vietnam), tindakan balas dendam penjajah terhadap aksi perlawanan berani yang dilakukan oleh yang dijajah melibatkan penguatan dan pengukuhan dehumanisasi “yang lain” serta penyebaran kebencian dalam istilah rasial. Bagi Prancis dan sekutunya, orang Vietnam dan Aljazair bukan lagi sebuah bangsa, mereka adalah penjahat, kriminal, dan teroris. Seorang prajurit Prancis muda yang kehilangan teman dekatnya di Vietnam menjelaskan apa yang ingin ia lakukan terhadap orang Vietnam: ‘Kita harus menghancurkan mereka semua, tanpa belas kasihan, mereka benar-benar barbar’ (Goscha 2022). Praktik penyiksaan sudah meluas di tentara Prancis bertahun-tahun sebelum pasukan terjun payung Prancis mendarat di Aljir. Mekanisme dan taktik dehumanisasi yang sama kini digunakan oleh Israel di Palestina, dengan jenderal, pejabat, dan tokoh media Israel menggambarkan Palestina sebagai ‘binatang manusia’, ‘tikus’, ‘barbar’, dan ‘teroris’ untuk membenarkan kejahatan perang, penyiksaan, dan pembantaian genosida mereka. Kolonialisme, beserta strategi rasialisasinya, belum berakhir.

Di Vietnam, Aljazair, dan Palestina, bukan hanya pasukan bersenjata kekuatan kolonial yang menerapkan strategi ini: para penjajah/pemukim sendiri juga berperan. Ketika pasukan payung elit yang dibawa pemerintah Prancis untuk menumpas pemberontakan di Aljir, berbaris di jalan utama kota, kerumunan pemukim Prancis yang bersemangat keluar untuk menyambut mereka. Adegan serupa terjadi di Saigon pada 1946 ketika pemukim berbondong-bondong keluar untuk menyambut tentara yang membebaskan mereka dari ‘kekuasaan pribumi’ (Goscha 2022). Dalam kedua kasus tersebut, terdapat keterikatan erat antara tentara dan komunitas pemukim, yang menerima kekerasan kolonial dan penindasan kejam. Demikian pula, saat ini, masyarakat pemukim Israel secara luas mendukung genosida militer Israel di Gaza dan upaya untuk melancarkan perang besar-besaran di seluruh wilayah. Ribuan video dan gambar menunjukkan orang-orang Israel bersorak dan merayakan kematian Palestina, serta menjelaskan bagaimana mereka ingin melihat mereka menghilang dari tanah yang telah mereka ambil alih.

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Palestina: Mengambil alih peran revolusi anti-kolonial

Apa yang saya maksudkan? Pada gagasan ini: bahwa tak seorang pun yang menjajah tanpa rasa bersalah, bahwa tidak ada yang menjajah tanpa konsekuensi; bahwa suatu bangsa yang menjajah, bahwa suatu peradaban yang membenarkan penjajahan—dan karenanya kekerasan—sudahlah merupakan peradaban yang sakit, peradaban yang secara moral terinfeksi…’ Aimé Césaire (Césaire 2000)

‘Kami mengingat semua penderitaan, semua ketidakadilan, rakyat kami dan kondisi hidup mereka, serta ketidakpedulian dunia terhadap perjuangan kami. Oleh karena itu, kami merasa tidak akan membiarkan mereka menghancurkan kami. Kami akan mempertahankan diri dan revolusi kami dengan segala cara dan upaya,’George Habash, 1970

Apa hubungannya perjuangan Aljazair dan Vietnam dengan perjuangan Palestina saat ini? Jawabannya adalah bahwa perjuangan pembebasan Palestina harus ditempatkan secara tegas dalam barisan panjang perjuangan revolusioner anti-kolonial. Meskipun memiliki keunikan dan perbedaan masing-masing, ketiga perjuangan ini perlu dipahami sebagai perjuangan anti-kolonial untuk pembebasan. Pada saat yang sama, peristiwa di Palestina, termasuk genosida saat ini, juga menunjukkan bahwa dunia kolonial belum sepenuhnya dihancurkan. 

Bagian di bawah ini berfokus pada persimpangan antara perjuangan pembebasan Palestina dan perjuangan serupa di Aljazair dan Vietnam.

Palestina dan Aljazair: dua saudara di dunia Arab

‘Saya bepergian dengan pesawat Aljazair di bawah perlindungan Aljazair seolah-olah saya adalah utusan Aljazair, bukan hanya utusan Palestina. [Boumediene] ingin memberitahu dunia bahwa utusan Palestina Yasser Arafat tidak datang sendirian, tetapi bersama Aljazair di sisinya.’ Yasser Arafat

Untuk alasan yang jelas, terdapat banyak hubungan antara perjuangan pembebasan revolusioner Palestina dan Aljazair. Salah satunya adalah pengalaman kolonialisme pemukim yang rasialis, tidak manusiawi, dan genosida yang dialami kedua bangsa tersebut, secara unik di kawasan Arab. Dengan berbagi pengalaman ini, revolusioner Palestina mengagumi saudara-saudari Aljazair mereka, sementara orang Aljazair melihat dalam perlawanan dan upaya revolusioner Palestina cerminan revolusi mereka melawan kolonialis Prancis. Gerakan Nasional Pembebasan Aljazair (FLN) menginspirasi strategi perjuangan bersenjata Palestina menginsirasi strategi perjuangan bersenjata Palestina dan persatuan berbagai kelompok politik di bawah bendera bersama. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa orang-orang Aljazair telah membantu Palestina sejak tahun 1960-an di berbagai bidang: dukungan diplomatik, bantuan militer, serta penyediaan senjata dan pendanaan.

Bagi sebagian besar ‘Dunia Ketiga’, terutama negara-negara yang masih berada di bawah cengkeraman dominasi kolonial, pembebasan Aljazair pada tahun 1962 memberikan harapan dan model untuk diikuti. Ibukotanya, Aljir, menjadi tempat ziarah bagi revolusioner dari seluruh dunia – dari Vietnam hingga Palestina hingga Afrika Selatan – yang ingin menggulingkan tatanan imperialis dan kolonial.  Piagam Aljir 1964 menyatakan dukungan Aljazair terhadap ‘perjuangan rakyat lain di dunia’, termasuk ‘perjuangan bersenjata’ (Deffarge & Troeller 1972), dan Aljazair yang merdeka terus memberikan suaka dan dukungan finansial kepada gerakan-gerakan di seluruh dunia yang berjuang untuk kemerdekaan dan melawan rasisme, kolonialisme, dan imperialisme. 

Di dunia Arab, rezim baru di Aljazair menjalin hubungan dengan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan menjadi bagian yang kokoh dari gelombang anti-kolonial yang mengusir Prancis dan Inggris setelah petualangan mereka yang gagal di Terusan Suez pada 1956, serta mencakup kemerdekaan Tunisia dan Maroko pada 1956, serta penggulingan monarki di Irak (1958) dan Yaman Utara (1962). Pada periode ini, Palestina juga memulai aksi-aksi pertamanya untuk mengembalikan negaranya ke peta politik, dari mana negaranya telah dihapus (Gresh 2012). 

Dalam paragraf-paragraf berikut, saya terutama mengandalkan materi yang dikumpulkan oleh situs web pendidikan yang luar biasa tentang Revolusi Palestina (https://learnpalestine.qeh.ox.ac.uk/ ), yang dikurasi oleh para cendekiawan Palestina Karma Nabulsi dan Abdel Razzaq Takriti, serta seri podcast The Dig, Thawra, tentang radikalisme Arab pada abad ke-20.

Gerakan pembebasan Palestina secara aktif berinteraksi dengan Aljazair pada tahun-tahun setelah kemerdekaannya pada 1962, pada masa ketika negara tersebut menjadi titik temu bagi berbagai gerakan pembebasan Afro-Asia. Penulis dan politikus Palestina, Muhammad Abu Meizar, yang bergabung dengan Fatah (Gerakan Pembebasan Nasional Palestina) pada 1962, menggambarkan bagaimana pertemuan pertama Palestina dengan Revolusi Kuba terjadi pada 1964, ketika Che Guevara berkunjung ke Aljir. Pada masa itu, Palestina sedang membangun hubungan dengan berbagai gerakan pembebasan dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Dari Aljazair pula, delegasi Palestina pertama melakukan perjalanan ke Tiongkok pada tahun 1965.

Abu Meizar menggambarkan dukungan Aljazair terhadap perjuangan Palestina pada masa itu: ‘melalui Aljazair, terjadi berbagai interaksi dengan gerakan pembebasan, seperti gerakan Vietnam, Tiongkok, dan Afrika. Aljazair menjadi titik temu. Aljazair juga menjadi tuan rumah salah satu institusi terpenting, Akademi Militer Cherchell, di mana banyak Palestina terdaftar. Hingga saat itu, Fatah belum menembakkan tembakan pertamanya. Namun, melalui Aljazair, Fatah menjalin hubungan dengan Maroko, Tunisia, Afrika, Vietnam, Tiongkok, Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Kuba. Hubungan-hubungan ini bukan hubungan kecil, melainkan hubungan yang sangat berharga dan penting.

Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organisation/PLO) membuka kantornya di Aljazair pada tahun 1965. Ketua pertamanya (1964–1967), Ahmad al-Shukeiri, dikenal karena dukungannya yang kuat terhadap perjuangan Aljazair: Sebagai perwakilan Arab Saudi dan kemudian Suriah di PBB di New York, ia berperan aktif dalam membela revolusi Aljazair dari 1955 hingga 1962, selama sidang tahunan dan pertemuan khusus. Aljazair membalas budi dengan cara yang sama: dukungan publik pertama bagi revolusi Palestina dari pemerintah mana pun datang dari Aljazair. Dukungan ini diwujudkan dalam halaman depan surat kabar resmi Al-Moudjahid pada 1 Januari 1965, yang memuat artikel berjudul ‘The Revolutionaries of the 1st of November Salute the Revolutionaries of the 1st of January’. 

Selama periode ini, Fatah mendirikan kamp pelatihan untuk pejuang Palestina di Aljazair, di luar kerangka Akademi Militer Cherchell, bekerja sama dengan Komando Pasukan Gabungan Aljazair. Sejumlah besar sukarelawan Palestina dari Eropa dan Maghreb, bahkan dari Amerika Serikat, dilatih di sana, beberapa di antaranya kemudian melakukan operasi perlawanan, menjadi simbol perjuangan pembebasan, seperti Mahmoud al-Hamshari, Ghazi al-Husseini, dan Abdullah Franji. 

Abu Meizar menggambarkan dukungan Aljazair terhadap perjuangan bersenjata Palestina: ‘[Pada 1967] kami memperoleh pengiriman senjata pertama dari Aljazair ke Fatah, dengan pengiriman difasilitasi oleh Mohammad Ibrahim al-Ali [Komandan Tentara Rakyat Suriah]. Pesawat pertama terbang ke Damaskus membawa senjata untuk Fatah. … Ini adalah kesepakatan senjata pertama kami, tetapi perlu diingat bahwa pada masa Boumediene pada tahun 1966, dukungan keuangan resmi pertama ditawarkan oleh pemerintah Aljazair kepada Fatah.

Yasser Arafat, ketua PLO dari tahun 1969 hingga 2004, selalu mengakui solidaritas Aljazair yang tak kenal kompromi dan tak tergoyahkan terhadap perjuangan Palestina, serta dukungannya yang teguh terhadap upaya perang pan-Arab melawan entitas Zionis. Sebagai contoh, ia menjelaskan bagaimana Presiden Aljazair Houari Boumediene mengirim pasukan ke Mesir untuk bertempur dalam Perang Arab-Israel 1967. Boumediene juga pergi ke Kairo dan Damaskus untuk menanyakan apa yang mereka butuhkan untuk upaya perang, dan kemudian mengunjungi Uni Soviet untuk meminta mereka mengirim tank dan senjata ke Mesir dan Suriah untuk menggantikan yang telah hilang. Arafat menceritakan negosiasi antara Boumediene dan Soviet pada masa itu: ‘Mereka mengatakan mereka membutuhkan waktu lebih lama, dan ia berkata jika yang dimaksud waktu adalah uang, maka Aljazair akan membayarnya. Ia langsung membayar Uni Soviet 200 juta dolar, yang setara dengan 2 miliar dolar hari ini. Ia membayar agar Uni Soviet mempercepat pengiriman senjata ke Mesir dan Suriah. Tidak ada yang bisa melupakan hal ini.

Setelah kekalahan (Naksa) pada tahun 1967, Boumediene menyatakan: 

Sejarah akan menghakimi kita sebagai pengkhianat dan pecundang … jika kita menerima kekalahan … Bangsa Arab tidak akan bertekuk lutut. Jika Israel berpikir bahwa mereka telah merebut Sinai, Golan, dan Tepi Barat, mereka tahu bahwa kedalaman Arab mencapai Aljazair … Aljazair tidak dapat menerima kekalahan. Apakah bangsa Arab menggunakan semua sumber daya manusia yang luar biasa yang dimilikinya? Apakah bangsa Arab menggunakan semua energi fisik yang dimilikinya saat ini ... untuk mengatakan bahwa bangsa ini kalah dalam pertempuran. ... Pertempuran ini bukan hanya pertempuran Palestina. Memang benar kita jauh secara geografis, tetapi kita memiliki peran yang harus dimainkan.’ (Boumaza 2015)

Pasukan Aljazair yang dikirim oleh Boumediene tetap berada di Mesir untuk mempertahankan perbatasannya hingga Perang Arab-Israel 1973, di mana mereka bertempur bersama pasukan Palestina di front Suez. 

Akhirnya, dukungan aktif Aljazair terhadap perjuangan pembebasan Palestina juga terlihat dalam pemilihan ibu kotanya, Aljir, sebagai lokasi Deklarasi Kemerdekaan Negara Palestina pada November 1988, yang diumumkan selama sidang ke-19 Dewan Nasional Palestina.

Setiap hari di Gaza, selalu ada lagi Kham Thien

Seperti Palestina dan Aljazair, Palestina dan Vietnam memiliki sejarah persaudaraan yang panjang. Perjuangan Vietnam untuk kemerdekaan, yang pertama kali melawan Prancis dan kemudian melawan Amerika Serikat, menginspirasi Palestina dalam perjuangan mereka melawan pendudukan Israel atas tanah mereka. 

Salah satu kesamaan dalam perjuangan Palestina dan Vietnam adalah penggunaan terowongan sebagai taktik gerilya melawan tentara yang lebih kuat dan lebih baik dilengkapi. Mungkin terinspirasi oleh penggunaan terowongan oleh komunis Tiongkok melawan penjajah Jepang, Vietnam mulai menggali jaringan terowongan yang luas pada tahun 1940-an, untuk bersembunyi dan melancarkan serangan terhadap pasukan kolonial Prancis. Terowongan Cu Chi sepanjang 150 mil, yang terletak di barat laut Saigon (Kota Ho Chi Minh) merupakan benteng strategis bagi pasukan gerilya komunis yang dikenal sebagai Viet Cong. Terowongan ini memainkan peran krusial dalam perlawanan terhadap perang Amerika di Vietnam, termasuk sebagai basis operasi untuk Serangan Tet pada tahun 1968. Hari ini, gerakan perlawanan Palestina dan Lebanon juga menggunakan terowongan dalam perjuangan mereka melawan Israel. Terowongan di Gaza berfungsi sebagai basis bagi perlawanan Palestina, yang telah menggunakannya untuk menimbulkan kerugian signifikan bagi militer Israel. 

Kesamaan lain antara pengalaman Palestina dan Vietnam adalah tingkat kehancuran yang ditimbulkan oleh penindas yang kuat. Bagi orang Vietnam, penghancuran Gaza oleh Israel saat ini mengingatkan pada serangan bom Amerika pada 1972. Presiden AS saat itu, Richard Nixon, memerintahkan pemboman ibu kota Vietnam Utara, Hanoi, selama Natal 1972. Mulai 18 Desember dan berlangsung selama 12 hari dan malam berturut-turut, sekitar 20.000 ton bom dijatuhkan di Hanoi, serta di kota pelabuhan utara yang ramai, Hai Phong, dan daerah lain. Kawasan Kham Thien di Hanoi mengalami kerusakan paling parah. 

Hubungan antara perang genosida Israel di Gaza dan perang Amerika Serikat di Vietnam kini secara jelas diungkapkan oleh aktivis muda Vietnam untuk memperkenalkan perjuangan Palestina kepada audiens baru (Dang 2024). Gema sejarah dari kedua perang tersebut, termasuk gambar-gambar kehancuran pusat-pusat perkotaan (Gaza dan Kham Thien), bersama dengan ancaman kekerasan dari negara-negara agresor – dengan Israel menyatakan akan ‘meratakan Gaza’ dan Amerika Serikat menyatakan akan ‘membom Vietnam Utara kembali ke Zaman Batu’ – menjadi bagian dari wadah simbol-simbol bersama yang menunjukkan sejarah bersama perang kolonial dan perlawanan revolusioner anti-kolonial. Pengalaman bersama ini memicu rasa solidaritas transnasional yang baru antara rakyat yang pernah tertindas dan yang saat ini tertindas. 

Solidaritas ini, yang kini diperbarui, sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu: dukungan Vietnam terhadap rakyat Palestina dan perjuangan mereka untuk pembebasan tetap kokoh selama Perang Dingin dan hingga tahun 1990-an. Hal ini tak diragukan lagi karena keyakinan kepemimpinan Vietnam bahwa perjuangan Palestina mencerminkan perjuangan mereka sendiri untuk penyatuan dan kemerdekaan melawan kekuatan asing. PLO menjalin hubungan dengan Vietnam Utara pada 1968 dan mendirikan kantor perwakilan tetap setelah berakhirnya perang di Vietnam pada 1975. Kantor tersebut kemudian menjadi kedutaan Palestina di Vietnam. Pada 1990-an, Vietnam menyambut para pemimpin Palestina, termasuk Yasser Arafat, dalam berbagai kesempatan. Di pihak Palestina, ikatan persahabatan antara kedua negara dirangkum oleh penyair Palestina Mahmoud Darwish pada tahun 1973, saat perang di Vietnam memasuki fase akhir dengan penandatanganan Perjanjian Perdamaian Paris: ‘Di dalam hati nurani rakyat dunia, obor telah diserahkan dari Vietnam kepada kami.’ Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) termasuk di antara minoritas kecil kelompok dan negara di Selatan Global yang secara terbuka mengecam China atas invasi mereka ke Vietnam pada tahun 1979.

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Illustration by Fourate Chahal El Rekaby

Perjuangan ini panjang, dan jalan yang harus ditempuh berat

Ketika pintu penjara dibuka, naga sejati akan terbang keluar.’ Ho Chi Minh (Minh 1967)

Seorang pejuang kebebasan belajar dengan cara yang sulit bahwa penindaslah yang mendefinisikan sifat perjuangan, dan yang tertindas seringkali tidak punya pilihan selain menggunakan metode yang menyerupai metode penindas.’ Nelson Mandela (Mandela 1994).

Gaza adalah dan akan tetap menjadi ibu kota keteguhan, jantung Palestina yang tidak berhenti berdetak meskipun dunia menutupi kita. … Jadi peganglah tanah ini sekuat akar yang melekat pada tanah, karena tidak ada angin yang dapat mencabut rakyat yang telah memilih untuk hidup. Younes Masskine, 2024.

Pada bagian-bagian sebelumnya, saya telah berargumen bahwa perjuangan pembebasan Palestina perlu (di)posisikan ulang dalam lintasan panjang perjuangan anti-kolonial/anti-imperialis/anti-apartheid, dan dekolonisasi, termasuk perjuangan pembebasan Haiti, Vietnam, Kuba, Aljazair, Guinea Bissau, Tanjung Verde, dan Afrika Selatan. Oleh karena itu, perjuangan ini harus didukung, bukan dijelek-jelekkan. Namun, seperti yang pernah ditulis Edward Said, ‘Palestina adalah perjuangan yang paling kejam dan paling sulit untuk dibela, bukan karena tidak adil, tetapi karena adil namun berbahaya untuk dibicarakan…’’ Bagaimanapun, di masa genosida ini, kita tidak boleh diam: kita harus berbicara tentang Palestina dengan sejujur dan sespesifik mungkin.

Dekolonisasi Palestina akan mencakup berakhirnya pendudukan, pembubaran rezim apartheid, dan pembubaran Israel sebagai proyek kolonial pemukim. Semua revolusioner anti-kolonial (terlepas dari ideologi mereka, apakah komunis, nasionalis, konservatif agama, dll.) telah digambarkan oleh penjajah dan penindas sebagai teroris, barbar, dan biadab. Dan semua kekuatan kolonial telah menanggapi tindakan perlawanan oleh yang tertindas dan terjajah dengan kejam dan tidak manusiawi. Oleh karena itu, saatnya kita menghentikan pemikiran yang menyamakan secara salah antara kekerasan yang sah (dan hak untuk melawan) dari yang tertindas dan terjajah (yang berjuang untuk pembebasan mereka sendiri) dengan kekerasan yang jauh lebih besar dari penindas dan penjajah, yang digunakan semata-mata untuk mempertahankan status quo yang tidak adil dan kejam. Revolusioner Guyana, Walter Rodney, mengartikulasikan hal ini dengan kata-kata yang kuat sebagai berikut: 

Kita diberitahu bahwa kekerasan itu sendiri adalah kejahatan, dan bahwa, apa pun penyebabnya, kekerasan itu tidak dapat dibenarkan secara moral. Dengan standar moral apa kekerasan yang digunakan oleh seorang budak untuk membebaskan diri dari rantai perbudakan dapat disamakan dengan kekerasan yang dilakukan oleh tuan budak? Dengan standar apa kita dapat menyamakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang kulit hitam yang telah ditindas, ditekan, dan dianiaya selama empat abad dengan kekerasan yang dilakukan oleh fasis kulit putih? Kekerasan yang bertujuan untuk pemulihan martabat manusia dan kesetaraan tidak dapat diukur dengan standar yang sama dengan kekerasan yang bertujuan untuk mempertahankan diskriminasi dan penindasan.’ (Rodney 1969)

Meskipun semua kengerian, kehancuran apokaliptik, dan pembantaian massal yang terjadi dalam serangan genosida Israel terhadap Gaza selama setahun terakhir, dengan melaksanakan serangan Toufan Al-Aqsa pada 7 Oktober, gerakan pembebasan Palestina memulai apa yang mungkin akan dilihat sebagai awal dari akhir rezim kolonial pemukim Israel (Pappé 2024). Selain itu, meskipun terjadi pembunuhan terarah terhadap pemimpin Hamas dan Hezbollah, pasukan perlawanan tetap utuh dan teguh di medan perang. Meskipun masih terlalu dini untuk dipastikan, apa yang kini terjadi di Palestina dan Lebanon dapat menjadi, seperti peristiwa 8 Mei 1945 di Aljazair, episode pertama dalam perang rakyat yang berkepanjangan untuk menghancurkan koloni pemukim. Hamas telah menghancurkan mitos ketidak terkalahkan Israel, dan melalui perlawanan heroiknya di Gaza saat ini, menegaskan dirinya sebagai pemimpin perlawanan Palestina terhadap pendudukan, apartheid, dan kolonialisme pemukim, mendapatkan simpati besar dari seluruh dunia Arab dan di luar sana. Perang asimetris yang sedang berlangsung bukanlah sekadar perang antara Hamas dan Israel, melainkan perang pembebasan Palestina. Ini juga sudah menjadi perang regional, karena Israel dan sekutunya di Barat (utama AS dan Inggris) bertempur dengan intensitas yang bervariasi di lima front: Gaza/Tepi Barat, Lebanon, Yaman, Irak/Suriah, dan Iran.

Kita perlu ingat bahwa perjuangan bersenjata diperlukan dalam kondisi tertentu, dan hal ini berlaku bagi Palestina yang diduduki dalam perjuangannya melawan kolonialisme pemukim Zionis. Namun, sangat penting untuk menempatkan perjuangan bersenjata di bawah kerangka politik revolusioner yang lebih luas, agar tidak menjadi sembarangan atau acak dalam pemilihan targetnya. Dalam pendekatan ini, perjuangan bersenjata dapat dipahami sebagai alat untuk menggalang dukungan politik, bukan sebagai taktik yang menyingkirkan atau menjauhkan sekutu potensial. Perlawanan yang efisien, seperti yang dilihat oleh cendekiawan revolusioner Pakistan Eqbal Ahmad,  memerlukan strategi fleksibel yang menggabungkan taktik militan dan politik yang berbeda, berdasarkan posisi musuh dan konteks politik yang lebih luas. Dalam pemahaman ini, kekerasan dan non-kekerasan tidak boleh dianggap sebagai strategi yang saling eksklusif dalam oposisi biner, dengan rakyat tertindas harus memilih salah satu di antaranya. Oleh karena itu, analisis kita tentang kekerasan politik harus menyimpang dari landasan normatif/moralistik yang menjadi dasar beberapa kecaman kiri terhadap kekerasan Hamas. Selain itu, menolak perlawanan anti-kolonial karena bersifat Islamis mencerminkan penyakit Islamofobia yang mendalam, yang sayangnya telah diinternalisasi oleh sebagian kalangan kiri Euro-Amerika.

Sejak awal berdirinya, gerakan pembebasan Palestina telah memahami keharusan perlawanan bersenjata di hadapan rezim kolonial, apartheid, dan pendudukan yang kejam dan brutal. Pada saat yang sama, seperti saudara-saudaranya di Aljazair dan Vietnam, gerakan ini juga menyadari bahwa mengalahkan secara militer kekuatan militer yang sangat canggih (didukung oleh blok imperialis yang dipimpin AS) adalah tugas yang tak teratasi. Agar berhasil dan mencapai tujuannya, perjuangan bersenjata Palestina perlu didasarkan pada strategi politik revolusioner yang lebih luas dan dipimpin oleh front anti-kolonial yang bersatu. 

Kebenaran proposisi ini dapat diilustrasikan melalui kasus Aljazair, khususnya melalui pendekatan yang diterapkan oleh Abane Ramdane. Dijuluki arsitek perjuangan kemerdekaan Aljazair, Ramdane bekerja untuk mengorganisir berbagai struktur politik dan militer revolusi Aljazair dan menciptakan front bersatu yang lebih kuat dengan bekerja sama dengan kekuatan politik lain, khususnya melalui Kongres Soummam pada Agustus 1956 (Harbi 2024). Ramdane, bersama rekan-rekannya, menekankan prioritas aksi politik di atas operasi militer, namun juga Ramdane yang bersikeras membawa perang ke ibu kota Aljir dalam Pertempuran Aljir. FLN Aljazair tidak memenangkan perang melawan Prancis secara militer, tetapi mereka memenangkan pertempuran politik dan diplomatik yang lebih menentukan, dalam hal mengisolasi dan mendelegitimasi rezim kolonial Prancis serta membangun aliansi yang kuat di kancah internasional, termasuk di Konferensi Bandung pada 1955, di forum-forum pan-Afrika, di Eropa, dan di Majelis Umum PBB pada tahun-tahun berikutnya. 

Sudah sangat jelas, konteks politik global telah berubah secara dramatis sejak tahun 1950-an dan 1960-an. Kita tidak lagi hidup di era pembebasan nasional dan Third-Worldism. Lebih buruk lagi, era kita adalah era di mana hukum internasional secara terbuka diinjak-injak oleh negara-negara paling kuat, dan di mana tatanan liberal Barat dalam hal hak asasi manusia dan demokrasi (politik, intelektual, budaya, dan media) runtuh di depan mata kita dan memperlihatkan warna sejatinya yang genosida dan supremasi kulit putih. Arena regional pun tidak lebih baik: Palestina dikelilingi oleh rezim-rezim Arab reaksioner dan pengkhianat yang telah menjual perjuangan Palestina kepada AS dan Israel. Iklim yang sangat menantang ini harus dipertimbangkan saat merancang strategi politik yang efektif untuk mempersatukan kekuatan anti-kolonial Palestina dan secara efisien mengartikulasikan tugas-tugas revolusioner di tingkat nasional, regional, dan internasional. Sebagai bagian dari strategi berlapis ini, memperkuat upaya Boikot, Divestasi, dan Sanksi (Boycott, Divestment and Sanctions/BDS) memiliki prioritas utama.

Gaza telah membangkitkan dunia, dan Palestina telah menjadi perjuangan yang paling menentukan di era kita. Palestina adalah ujian sejati bagi gerakan dan organisasi progresif, dan juga ujian bagi setiap individu di antara kita. Seperti yang telah dijelaskan dengan jelas oleh Adam Hanieh, perjuangan pembebasan Palestina bukan hanya masalah moral dan hak asasi manusia: secara fundamental, ini adalah perjuangan melawan imperialisme yang dipimpin AS dan kapitalisme fosil global, mengingat dua pilar hegemoni AS di kawasan dan di luarnya adalah Israel, koloni pemukim Euro-Amerika, dan monarki Teluk yang kaya akan bahan bakar fosil dan reaksioner, yang merupakan titik simpul kunci dalam kapitalisme fosil global. Palestina karenanya menjadi garis depan global melawan kolonialisme, imperialisme, kapitalisme fosil, dan supremasi kulit putih. Dalam hal ini, keberhasilan perjuangan (meskipun saat ini ditekan dan dikalahkan) untuk menggulingkan rezim-rezim Arab reaksioner di kawasan—terutama monarki-monarki Teluk, Mesir, dan Yordania—adalah penting bagi kemenangan perjuangan Palestina. Pada saat yang sama, apa yang telah terungkap oleh perang genosida Israel, di luar kekosongan tatanan internasional berbasis aturan, adalah kebangkrutan moral dan politik rezim-rezim Arab, beberapa di antaranya hanya berlagak tanpa bertindak, dan beberapa di antaranya secara aktif terlibat dalam kejahatan Zionis (terutama Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan Maroko). Fakta ini telah menjadi jelas bagi populasi Arab dalam setahun terakhir. Hal ini dapat menguatkan tekad mereka untuk menggulingkan rezim-rezim tersebut dalam beberapa tahun ke depan (ingat bahwa slogan revolusioner Sudan dan Aljazair pada 2018 dan 2019 adalah ‘Biarkan mereka semua jatuh’).

Upaya keras Prancis dan sekutunya untuk mempertahankan garis imperial di Indochina pada tahun 1940-an dan 1950-an demi mempertahankan posisi mereka di Afrika, kini tercermin dalam tindakan AS, Israel, dan sekutunya untuk mempertahankan garis imperial di Palestina dan kawasan Timur Tengah yang lebih luas melawan poros Perlawanan, yang diwakili oleh Republik Islam Iran, Hezbollah dan organisasi saudaranya dalam perlawanan Lebanon, bersama Hamas dan mitranya dalam perlawanan Palestina, serta Ansar Allah (yang dikenal sebagai Houthi) dalam pemerintah Yaman dan berbagai kelompok perlawanan Irak. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa bagi kekuatan anti-imperialis secara global, menyerang imperialisme di Palestina dan Timur Tengah memiliki arti strategis yang paling penting untuk melayani revolusi dunia, sebagaimana kata-kata intelektual revolusioner Palestina, penyair, dan aktivis politik Ghassan Kanafani yang dikutip di awal artikel ini.

Tujuan saya sepanjang kontribusi ini bukanlah untuk memuja atau meromantisasi secara membabi buta berbagai revolusi dan kekuatan perlawanan anti-kolonial, karena semua gerakan tersebut memiliki masalah, kontradiksi, kelemahan, dan kegagalan masing-masing. Selain itu, realitas “pasca-kolonial” di negara-negara “merdeka” yang menjadi fokus artikel ini menunjuk pada jebakan kesadaran nasional dan kebangkrutan borjuasi nasional tertentu, yang dijelaskan dengan apik oleh Fanon dalam bukunya The Wretched of the Earth. Namun, daripada mengambil sikap nihilistis dan secara retrospektif menyatakan upaya revolusioner ini tidak bernilai, kita perlu melihat revolusi sebagai proses jangka panjang yang berkelanjutan, dengan pasang surut, daripada sebagai peristiwa yang berhasil atau gagal pada satu momen tertentu. 

Untuk melakukan penilaian materialis yang memadai terhadap perjuangan revolusioner, penting juga untuk mempertimbangkan secara bersamaan dimensi nasional, regional, dan internasional dari perjuangan tersebut. Solidaritas transnasional antara rakyat yang tertindas dan terjajah telah menjadi, dan terus menjadi, kekuatan pendorong dalam mengubah dunia. Saat ini, kita menyaksikan kekuatan dan signifikansi solidaritas Selatan-Selatan, dalam bentuk komitmen negara-negara Selatan terhadap perjuangan Palestina dan upaya untuk mengisolasi rezim pemukim kriminal Israel. Gugatan Afrika Selatan terhadap Israel atas pelanggaran Konvensi Genosida di Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) adalah salah satu upaya tersebut, dan ini merupakan perkembangan historis: Laki-laki dan perempuan Afrika (bersama sekutu mereka) sedang menggoyahkan supremasi kulit putih dan kolonialisme, dan dengan meminjam kata-kata Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese, ‘berjuang untuk menyelamatkan kemanusiaan dan sistem hukum internasional dari serangan kejam yang didukung/dipermudah oleh sebagian besar Barat’. Menyaksikan mereka memperjuangkan hal ini ‘akan tetap menjadi salah satu gambaran paling menentukan di zaman ini. … [hal ini] akan mencatat sejarah apa pun yang terjadi.’ Di Den Haag, kita melihat perwakilan negara yang menderita dan mengalahkan apartheid berdiri untuk kemanusiaan dasar, keadilan, dan solidaritas, serta mengulurkan tangan kepada negara lain yang sedang mengalami dan melawan penindasan kolonial dan genosida sambil memperjuangkan hak-hak mereka untuk kebebasan dan keadilan. Selatan (meskipun dengan segala kekurangannya dan kontradiksinya) sedang mengajarkan pelajaran moral politik kepada Utara yang ‘mencintai hak asasi manusia dan demokrasi’. Melalui tindakan mereka, para pewaris Mandela menghormati kenangannya dan menekankan kebenaran kata-katanya: ‘…kami tahu dengan baik bahwa kebebasan kami tidak lengkap tanpa kebebasan Palestina’.3

Banyak negara di Global Selatan mendukung kasus Afrika Selatan. Di antaranya adalah Turki, Indonesia, Yordania, Brasil, Kolombia, Bolivia, Pakistan, Namibia, Maladewa, Malaysia, Kuba, Meksiko, Libya, Mesir, Nikaragua, Organisasi Kerjasama Islam (beranggotakan 57 negara), dan Liga Arab (beranggotakan 22 negara). Di sisi lain, negara-negara Barat (AS, Inggris, Kanada, dan Jerman) mendukung Israel. Jerman menerima kecaman keras dari Namibia, bekas koloni Jerman, atas sikapnya yang membela genosida Israel di Gaza dan tidak belajar dari sejarah kelamnya yang melakukan dua genosida pada abad ke-20 (genosida Herero dan Namaqua di Namibia dan Holocaust di Eropa). Selain itu, Chile dan Meksiko telah mendesak Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) untuk menyelidiki kejahatan perang yang dilakukan Israel di Gaza. Hal ini, bersama dengan belasan negara yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan langkah Kolombia (dan kemungkinan Afrika Selatan) untuk melarang ekspor batu bara ke Israel, menandakan garis pemisah yang jelas antara Utara dan Selatan (meskipun dengan beberapa kontradiksi yang tidak berkelanjutan, terutama terkait negara-negara seperti Yordania dan Mesir). Perkembangan ini memperkuat tren menuju dunia multipolar di mana Selatan memperkuat posisinya secara politik dan ekonomi. Kita belum berada dalam fase Bandung baru, tetapi titik balik historis ini akan mempercepat kemunduran (setidaknya secara ideologis) dari imperium yang dipimpin AS dan akan mempertajam kontradiksinya.

Sidang Mahkamah Internasional (ICJ dan perkembangan yang terjadi setelahnya merupakan tantangan serius bagi dunia kulit putih (di mana kulit putih bukan sekadar kategori ras, tetapi juga konstruksi ideologis), kaum elit Barat, bangunan ‘hak asasi manusia’ dan ‘universalisme’ mereka yang sedang runtuh, dan dapat mempercepat keruntuhan (dis)tatanan internasional yang ‘berbasis aturan’. Sangat jelas bahwa demokrasi borjuis Barat/Utara sedang mengalami krisis legitimasi yang dalam (jika tidak fatal), dan hegemoni globalnya (dalam arti Gramscian) sedang merosot. Hal ini menjelaskan pergeseran yang jelas menuju, dan ketergantungan yang semakin besar pada, perang dan pengukuhan logika militeris/genosida. Kapitalisme-imperialisme sedang memasuki tahap barbarinya yang terbuka. Seperti yang ditulis Gramsci: ‘yang lama sedang mati dan yang baru belum bisa lahir; dalam masa transisi ini, berbagai gejala patologis muncul’.

Pada masa ketika sistem politik dan ekonomi internasional lebih menyalahkan korbannya daripada mereka yang mempertahankannya, mengalihkan perhatian dari mekanisme dominasi, dan beralih ke penjelasan-penjelasan kulturalis (seringkali rasis) untuk kegagalan-kegagalannya, sangat penting bagi kita untuk mendalami proyek-proyek dan pengalaman revolusioner serta progresif dari masa lalu. Kita membutuhkan kejelasan tujuan ini untuk menciptakan pemutusan dengan sejarah panjang penjarahan, kekerasan, dan ketidakadilan yang dialami oleh mayoritas penduduk planet ini. Hal ini juga dapat membantu kita mengatasi propaganda sistem penindasan yang menyembunyikan rantai dan belenggunya melalui penggunaan frasa-frasa yang tampak ramah seperti “tangan tak terlihat pasar”, “globalisasi yang bahagia”, “tanggung jawab kemanusiaan untuk melindungi” – atau “Israel memiliki hak untuk membela diri”.

Semakin jelas bahwa mayoritas yang tertindas tidak dapat lagi bernapas dalam sistem yang mendegradasi manusia, sistem yang mengukuhkan eksploitasi berlebihan, sistem yang mendominasi alam dan manusia, sistem yang menghasilkan ketidaksetaraan massal dan kemiskinan yang tak terkira, sistem yang rentan terhadap perang dan militerisasi, serta yang menyebabkan kerusakan ekologi dan kekacauan iklim. Beruntung, pemberontakan dan perlawanan yang secara fundamental anti-sistemik terjadi di semua benua dan wilayah. Namun, agar aksi perlawanan yang sporadis dan sebagian besar terbatas secara geografis ini berhasil, aksi tersebut harus melampaui batas lokal dan mencapai tingkat global; dan harus menciptakan aliansi yang berkelanjutan dalam menghadapi kapitalisme, kolonialisme/imperialisme, patriarki, dan supremasi kulit putih.

Dapatkah berbagai perjuangan kontemporer – mulai dari pemberontakan Arab, Afrika, Asia, dan Amerika Latin hingga Black Lives Matter, perlawanan masyarakat adat dan gerakan buruh, serta dari gerakan keadilan iklim, kedaulatan pangan, dan perdamaian, hingga perkemahan mahasiswa, anti-fasisme/anti-rasisme, dan perlawanan Palestina/Lebanon – bersatu dan membangun aliansi global yang kuat yang mengatasi kontradiksi dan titik buta itu sendiri? Dapatkah hal ini mengantarkan momen baru di mana kita mempertanyakan fondasi kolonial dari kesulitan kita saat ini dan benar-benar mendekolonisasi politik, ekonomi, budaya, dan epistemologi kita? Tujuan ini tidak hanya mungkin tetapi juga diperlukan, dan solidaritas dan aliansi transnasional sangat penting dalam perjuangan global untuk pembebasan kaum tertindas di bumi. Di sini, kita dapat mengambil inspirasi dari masa lalu, dengan melihat periode dekolonisasi, Bandung, Third-Worldism, Tricontinental, dan pengalaman internasionalis serupa. 

Beberapa sejarah diabaikan, yang lain disembunyikan untuk mempertahankan hegemonii tertentu dan menyembunyikan era inspiratif koneksi revolusioner antara perjuangan pembebasan di benua yang berbeda. Kita harus menggali masa lalu untuk mengenal sejarah-sejarah ini, belajar darinya, dan mengenali potensi konvergensi di antara perjuangan yang sedang berlangsung. Misalnya, kita perlu mengingat dan belajar dari fakta bahwa Aljazair yang merdeka menjadi simbol perjuangan revolusioner yang kuat dan menjadi model bagi berbagai front pembebasan di seluruh dunia. Dengan kebijakan luar negerinya yang berani, pada tahun 1960-an dan 1970-an, ibu kota Aljazair menjadi Mekkah bagi para revolusioner, seperti yang dibahas di atas. Adalah Amilcar Cabral, pemimpin revolusioner dari Guinea-Bissau, yang mengumumkan dalam konferensi pers di sela-sela Festival Pan-Afrika pertama yang diadakan di Aljir pada tahun 1969: ‘Ambil pena dan catat: umat Muslim berziarah ke Mekah, umat Kristen ke Vatikan, dan gerakan pembebasan nasional ke Aljir!’ Demikian pula, kita harus mencatat bahwa perjuangan Vietnam melawan imperialisme AS pada tahun 1960-an juga menjadi penyebab utama bagi gerakan progresif dan mempengaruhi meletusnya pemberontakan sosial global yang mengarah pada protes tahun 1968. 

Perspektif global tentang perjuangan kita inilah yang perlu kita tekankan, untuk mengatasi berbagai kendala dan keterbatasan yang dibebankan pada gerakan kita dan untuk merangkul internasionalisme radikal yang akan secara aktif mempromosikan solidaritas. Sangat penting bagi kita untuk menemukan kembali warisan revolusioner dunia Arab, Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Global Selatan, sebagaimana tercatat dalam tindakan dan kata-kata para pemikir besar seperti George Habash, Mahdi Amel, Frantz Fanon, Amilcar Cabral, Thomas Sankara, Walter Rodney, Ghassan Kanafani, Samir Amin, Che Guevara, Ho Chi Minh, dan Mao Zedong, untuk menyebutkan beberapa saja. Kita perlu menghidupkan kembali proyek-proyek ambisius tahun 1960-an yang mengupayakan emansipasi dari sistem imperialis-kapitalis. Membangun warisan revolusioner ini, terinspirasi oleh harapan pemberontaknya, dan menerapkan perspektif internasionalisnya pada konteks saat ini adalah hal yang sangat penting bagi Palestina, dan bagi perjuangan emansipatoris lainnya di seluruh dunia.

Dalam kesimpulan The Wretched, Fanon menulis:

Marilah, kawan-kawan; ada baiknya kita segera memutuskan untuk mengubah cara hidup kita. Kita harus menyingkirkan kegelapan pekat yang menjerumuskan kita dan meninggalkannya. Hari baru, yang sudah di depan mata, harus mendapati kita teguh, bijaksana, dan penuh tekad ... Jangan buang waktu dalam litani-litani yang sia-sia dan mimikri yang memuakkan. Tinggalkan Eropa ini di mana mereka tak pernah selesai berbicara tentang Manusia, namun membunuh manusia di mana pun mereka menemukannya, di setiap sudut jalan mereka sendiri, di seluruh penjuru dunia. ... Ayo, kawan-kawan, permainan Eropa akhirnya berakhir; kita harus menemukan sesuatu yang berbeda. Kita hari ini dapat melakukan segalanya, selama kita tidak meniru Eropa, selama kita tidak terobsesi oleh keinginan untuk mengejar Eropa. ... Demi Eropa, demi diri kita sendiri dan demi kemanusiaan, kawan-kawan, kita harus membuka lembaran baru, kita harus merumuskan konsep-konsep baru dan mencoba menapaki manusia baru. (Fanon 1967)

Dalam konteks ini, sangatlah penting untuk melanjutkan tugas-tugas dekolonisasi dan pemutusan hubungan dengan sistem imperialis-kapitalis, guna memulihkan kemanusiaan kita yang teringkari. Melalui perlawanan terhadap logika apropriasi dan ekstraksi kolonial dan kapitalis, imajinasi baru dan alternatif kontra-hegemoni akan lahir. Janganlah kita menyerah. Marilah kita menjadi generasi yang bangkit dari abu kita dengan lebih kuat. Dan, mengutip pepatah terkenal yang akrab bagi banyak umat Muslim, marilah kita berjuang untuk perubahan radikal seolah-olah akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mewujudkannya, tetapi persiapkanlah landasannya seolah-olah akan terjadi besok.

Seperti yang dinyanyikan oleh para revolusioner di Festival Pan-Afrika di Aljir pada tahun 1969: 'Hancurkan imperialisme, hancurkan kolonialisme!' 'Kolonialisme, kita harus berjuang sampai kita menang! Imperialisme, kita harus berjuang sampai kita menang!'4

Yang dapat kita tambahkan: 'Dari sungai hingga laut, Palestina akan merdeka!'

The opinions expressed in this article are solely those of the authors and do not necessarily reflect the views or positions of TNI.

Referensi:

Abbas, F. (1962) Guerre et Révolution I: La Nuit Coloniale. Paris: Julliard.

Alleg, H. (1958) La Question. Paris: Éditions de Minuit.

Amin, S. (1970) The Maghreb in the Modern World. Harmondsworth: Penguin.

Ayache, G. (1990) Les Origines de la Guerre du Rif. Rabat: EMER.

Ben Khedda, B. (1989) Les Origines du 1er Novembre 1954. Algiers: Éditions Dahlab.

Bennoune, M. (1988) The Making of Contemporary Algeria, 1830–1987: Colonial upheavals and post-independence development. Cambridge: Cambridge University Press.

Boumaza, Z. (2015) ‘The West and Pan-Arab Nationalism: The Case of Djamal Abdel Nasser, Houari Boumediene and Saddam Hussein’. Dissertation, Badji Mokhtar-Annaba University, Faculty of Letters, Social and Human Sciences, Department of English. 

Bourdieu, P. and Sayad, A. (1964) Le Déracinement: la crise de l’agriculture traditionnelle en Algérie. Paris: Les Editions de Minuit.

Césaire, A. (2000) Discourse on Colonialism. New York: Monthly Review Press.

Dang, H. (2024) ‘Gaza war evokes Vietnam's own struggle, past unity with Palestine’, 30 March. https://www.aljazeera.com/features/longform/2024/3/30/gaza-war-reminds-vietnam-of-liberation-struggle-once-shared-with-palestine

Daoud, Z. (1999) Abdelkrim: Une épopée de sang. Paris: Séguier Editions.

Davis, D. (2007) Resurrecting the Granary of Rome: Environmental History and French Colonial Expansion in North Africa. Athens: Ohio University Press.

Deffarge, C. & Troeller, G. (1972) ‘Alger, capitale des révolutionnaires en exil’, August. https://www.monde-diplomatique.fr/mav/121/DEFFARGE/47325

Delanoë, N. (2002) Poussières d'Empire. Paris: Presses Universitaires de France.

Drif, Z. (2017) Inside the Battle for Algiers: Memoir of a Woman Freedom Fighter. Washington DC: Just World Books.

Evans, M. and Phillips, J. (2007) Algeria: Anger of the Dispossessed. New Haven, Conn: Yale University Press

Fanon, F. (1967) The Wretched of the Earth. London: Penguin Books.

Fisk, R. (2005) The Great War for Civilisation: The conquest of the Middle East. London: Fourth Estate.

Goscha, C. (2022) The Road to Dien Bien Phu. New Jersey: Princeton Press.

Gresh, A. (2012) ‘Utopie’, February. https://www.monde-diplomatique.fr/mav/121/GRESH/47243

Gresh, A. (2023) ‘Barbares et civilisés’, Novembre. https://www.monde-diplomatique.fr/2023/11/GRESH/66250

Harbi, M. (2024) FLN: Mirage et réalité. Paris: Syllepse.

James, C.L.R. (2001) The Black Jacobins: Toussaint L'Ouverture and the San Domingo revolution. London: Penguin Books.

Kanafani, G. (2023) The 1936–39 Revolt in Palestine. New York: 1804 Books.

Lacheraf, M. (1965) Algérie, Nation et Société. Algiers: Casbah-Editions.

Mandela, N. (1994) Long Walk to Freedom. Essex: Abacus.

McDougall, J. (2006) History and the Culture of Nationalism in Algeria. Cambridge: Cambridge University Press.

Meaney, T. (2024) ‘The Winning Side’, 10 May. https://newleftreview.org/sidecar/posts/the-winning-side

Minh, H. C. (1967) On Revolution: Selected Writings, 1920–1966. New York: Signet Books

Pappé, I. (2024) ‘The Collapse of Zionism’, 21 June. https://newleftreview.org/sidecar/posts/the-collapse-of-zionism

Rodney, W. (1969) The Groundings with My Brothers. London: L’Ouverture Publications.

Ruscio, A. (2004) ‘Le Valmy des peuples colonisés’, July. https://www.monde-diplomatique.fr/2004/07/RUSCIO/11315

Saaf, A. (1996) Histoire d’Anh Ma. Paris: L’Harmattan.

Stora, B. (2004) Histoire de la Guerre d’Algérie 1954–1962. Paris: La Découverte

Zedong, M. (1953) Report on an Investigation of the Peasant Movement in Hunan. Peking: Foreign Languages Press.

Zedong, M. (1967) Selected Works of Mao Tse-tung: Vol. II. Beijing: Foreign Languages Press.